Kamis, 14 April 2011

Rapuhnya Presidensial Multi Partai

Mainwaring (2008) meyakini bahwa hanya ada 4 negara penganut sistem presidensialisme yang berhasil dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil. Yaitu: Amerika Serikat, Venezuella, Costa Rica, Columbia. Sebaliknya, negara-negara yang menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan efektifitas pemerintahan. Begitu juga dengan argumen seorang Juan J Linz yang menyatakan bahwa penerapan sistem presidensialisme dalam konteks multi partai bukan kombinasi yang cocok karena akhirnya akan berujung pada apa yang disebutnya “breakdown of democratic regime”. Bagaimana dengan Indonesia?

Topik ini menjadi pembahasan yang hangat dalam seminar “Membedah Undang-Undang (UU) Partai Politik (UU No 2 tahun 2011)” yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia kerjasama dengan Hanns Seidel Foundation, Sabtu, 9 April 2011, di Hotel Saphire Yogyakarta. Ari Dwipayana S. Ip., M. Si yang menjadi pembicara dalam seminar ini mengatakan ada tiga faktor yang perlu diperhatikan pemerintahan presidensial dengan sistem multi partai seperti Indonesia saat ini.

Pertama, kualitas partai politik. Baginya multi partai tidak menjadi masalah jika partai yang ada memang benar-benar berkualitas. Kedua, koalisi politik. Koalisi yang terjadi sekarang lebih pada koalisi memburu kemenangan semata dan memburu jabatan di kabinet. Untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan jalan pemilu nasional legislatif dan presiden dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Ketiga, kapasitas presiden. Bisa jadi rapuhnya presidensialisme adalah kurangnya kapasitas politik (personal) presiden yang kuat untuk mentransformasi logika office-vote seeking menjadi policy seeking.

Dr. Ni’matul Huda yang menjadi pembicara kedua juga menambahkan bahwa hukum tata negara Indonesia sebenarnya sudah membuat eksekutif dan legislatif sama-sama kuat. Dalam konteks ketatanegaraan presiden tidak bisa membubarkan Dwan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sebaliknya, DPR tidak bisa menjatuhkan presiden hanya dengan alasan politis. Sehingga kita tinggal menunggu ke-pede-an presiden kita untuk mengambil kebijakan yang berani untuk kepentingan rakyat.

Sri Hastuti Puspitasari SH., MH berkomentar bahwa dilihat dari syarat pendirian parpol seolah hak politik untuk mendirikan parpol semakin mudah, akan tetapi pasal 2 ayat 2 UU ini agak mempersempit karena parpol harus didaftarkan oleh sekurang-kurangnya 50 orang pendiri. Rekan panelnya, Isti’anah ZA, SH., M. Hum dengan lantang malah mengatakan UU ini sedikit banyak juga mengandung unsur kepentingan untuk “menjegal” Nasional Demokrat karena dalam UU ini mengatur pendaftaran parpol yang ingin ikut pemilu setidak-tidaknya harus sudah mendaftar 2,5 tahun sebelum pelaksanaan pemilu.

Seminar ini berakhir dengan ditutup oleh beliau ibu Sri Hastuti Puspitasari selaku direktur PSHK FH UII. Besar harapan dengan seminar ini dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif bagi proses demokratisasi bangsa Indonesia saat ini. Harapan yang sama juga dilontarkan oleh Dr. Rusli Muhammad selaku dekan FH UII.
(Zuhad Aji F.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar