Minggu, 10 April 2011

Hati-Hati Dengan Hati

Sebuah Pengantar

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat As-Syu’ara ayat 88-89, “Yauma laa yanfa’u maalun walaa banuun. Illa man atallaha biqolbin saliim”. Yang artinya, “Yaitu pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.

Manusia adalah makhluk Allah yang terbaik, tiada yang sia-sia dalam penciptaannya. Kita ketahui, bahwa dalam diri manusia terdapat bagian-bagian atau organ yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, jika salah satu bagian tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka muncullah ketidakstabilan. Kita tak akan mampu memegang sesuatu dengan baik apabila tangan kita sakit, begitu juga kita tak akan mampu melihat dengan sempurna apabila mata kita sakit.

Dalam tubuh kita ada salah satu bagian yang namanya hati (al-qolbu), berasal dari kata Qolaba yang berarti bolak-balik, hati bisa membuat manusia bahagia dan juga bisa membuat manusia sedih. Sebagaimana halnya dengan bagian tubuh yang lain, apabila hatinya sakit, maka iapun tidak akan berjalan sebagaimana fungsi penciptaannya, yaitu menyerap ilmu, hikmah dan makrifat. Dengan fungsi tersebut manusia berbeda dengan hewan.

Memahami Fungsi Hati
Kita perlu mengetahui pentingnya memahami hati, agar kita mampu menempatkan hati sebagaimana fungsinya. Pertama, kaitannya dengan anggota tubuh. Hati dalam bentuknya yang konkrit di dalam tubuh manusia berfungsi sebagai penyaring antara zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh dan zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Hal ini tidak jauh beda dengan fungsi hati dalam bentuknya yang abstrak, hati memberi pertimbangan mana yang baik dan buruk dalam sebuah pengambilan keputusan.

Hati bagaikan seorang komandan, apabila ia baik, maka prajuritnya akan diatur menjadi baik. Namun sebaliknya apabila ia jahat, maka terbentuklah prajurit-prajurit yang jahat. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh itupun rusak, ketahuilah, dia itu adalah hati”(HR: Bukhari Muslim).

Seseorang yang hatinya memiliki iman, dia akan beruntung, karena akan membawanya pada ketaatan. Beribadah kepada Allah SWT, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ia sadar betul kemana arah kaki harus melangkah, telinga mendengarkan apa yang disukai Allah dan lidah mengucapkan perkataan yang baik. Nabi Isa Alaihissalam berkata: "Sungguh beruntung orang yang ucapannya adalah dzikir, diamnya pikir, penglihatannya untuk mengambil pelajaran. Dan orang yang paling cerdas adalah orang yang mampu menundukkan nafsunya dan beramal buat setelah kematian”. Dan apabila sebaliknya, hati yang tak memiliki iman, maka nafsulah yang akan berkuasa.

Kedua, hati merupakan alat untuk memperoleh ilmu. Ilmu dapat diperoleh dengan cara mendengar, memperhatikan dan meyakinkan dengan hati. Semua manusia terlahir tanpa mengetahui apapun, sehingga seseorang harus bersungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur”. Manusia tidak boleh menyia-nyiakan anugerah tersebut, dengan bersyukur kita gunakan anugerah yang telah Allah berikan untuk bersungguh-sungguh mencari ilmu, terutama ilmu agama, karena bagi orang yang beriman, setiap apa yang dianugerahkan Allah kepada manusia akan dimintai pertanggung-jawabannya di hari kemudian.

Asal segala ciptaan atau realitas adalah Allah SWT, jika manusia mengetahui segala sesuatu tetapi tidak mengetahui (ma’rifah) Allah maka ia dianggap tidak mengetahui apa-apa. Tanda ma’rifah ialah cinta. Siapa yang mengetahui Allah pasti mencintai-Nya. Sedangkan tanda cinta ialah mengutamakan-Nya daripada sesuatu yang ia cintai selain-Nya. Siapa yang lebih mencintai sesuatu ketimbang Allah maka hatinya sakit, maka disetiap amal perbuatan kita harus ada niat, oleh karena itu perkara yang ketiga adalah niat.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat” (HR: Bukhari Muslim). Dimanakah letaknya niat, sudah barang tentu di hati, maka seseorang harus meluruskan niatnya dalam setiap amal perbuatannya. Disamping itu harus dengan keikhlasan, karena amal yang tidak disertai dengan keikhlasan hanyalah kesia-siaan semata, sekedar mencari kepuasan atau menggugurkan kewajiban. Sedangkan balasan bagi orang yang ikhlas semata-mata mengharapkan keridhoan dari Allah SWT, ia akan mendapatkan puncak kenikmatan, yakni bertemu dengan Allah SWT di akhirat nanti. Rasa keikhlasan pada manusia sangat dipengaruhi oleh gersang tidaknya hati manusia, untuk bisa mengobati kegersangan hati, maka perlu membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Membersihkan Hati Dengan Uzlah
Harus ada cara untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT, caranya adalah dengan ber-uzlah, yaitu menghadapkan hati secara terarah khusus kepada Allah SWT. Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh Zaruq, Orang yang ber-uzlah terbagi menjadi 3 bagian.

Pertama, orang yang ber-uzlah dengan hatinya saja sementara badannya tidak. Yaitu orang yang dapat memelihara hatinya dari keadaan di sekitarnya. Meskipun berada dalam lingkungan kemaksiatan, namun ia tidak terpengaruhi oleh keadaan tersebut. Kedua, orang yang ber-uzlah badannya saja sementara hatinya tidak. Yaitu orang yang terpengaruh keadaan sekitarnya meskipun ia tinggal menyendiri. Ketiga, orang yang ber-uzlah baik badan maupun hatinya. Yaitu orang yang benar-benar menjauhkan diri dari keadaan sekitarnya baik fisik maupun hatinya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, uzlah yang terbaik adalah seperti yang pertama, ia diibaratkan bagaikan ikan yang hidup di laut, ikan laut tidak akan merasa asin walaupun ia hidup di air laut yang begitu asin. Begitulah ibarat orang yang beriman, yang dekat kepada Allah SWT, meskipun lingkungannya berada dalam kemaksiatan, ia tidak akan terpengaruh oleh keadaan, justru ia akan gunakan untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam berdakwahpun sudah barang tentu sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, yaitu mengajak beriman kepada Allah SWT dengan hikmah dan teladan yang baik, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nahl 125, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.

Penutup Bukan Kesimpulan
Jika dalam suasana biasa akal kita tidak mampu memecahkan sesuatu, berada dalam kebuntuan, maka dalam suasana ber-uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi perkara yang tidak bisa difikirkan oleh akal biasa. Uzlah dapat membantu memantapkan rohani agar akal dapat menerima pancaran nur kalbu yang keluar dari keadaan hati yang bersih dan suci, karena tanpa sinaran nur kalbu akal tidak mungkin dapat memahami hal-hal ketuhanan dan tidak akan diperolehi iman dan tauhid yang hakiki.

Pancaran nur kalbu membantu manusia peka terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya, dengan begitu kepedulian sosial dalam masyarakat akan terbangun secara harmonis. Keterkaitan antara bersihnya hati dengan realitas sosial akan menggerakkan manusia di dalamnya untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT. Wallahu a’lam bishshowab. (/FF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar