Kamis, 04 April 2013

KOHATI Dalam Bingkai HMI

Suryanti
Ketua KOHATI Cabang Yogyakarta 2012

Modernisasi dan pembangunan merupakan dua hal yang menjadi prioritas dalam sebuah dinamika organisasi. Untuk itu perlu adanya penataan dalam tatanan nilai, moralitas, pengetahuan, penguasaan teknologi dan pengayaan konsepsi tentang islam. Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan yang hadir sebagai gejala sosial yang mewadahi aspirasi kaum terpelajar islam, HMI MPO memberikan ruang gerak bagi setiap pibadi yang terlibat didalammnya dan konsisten dalam upaya pengembangan fitrah manusia sebagai individu sosial dan agamis. Hal ini dapat dilihat dari sejarah panjang yang telah ditorehkannya selama ini dengan dinamika yang terus begejolak didalammnya, termasuk dalam konstruksi pemikiran dan pemahaman terhadap konsepsi Bias gender. Pemahaman tentang arti dan peran perempuan selama ini terpahami secara gradual dengan tahapan yang bebeda pada setiap masanya, dimana wadah pengembangan potensi kader HMI wati -yang disebut dengan KOHATI- telah dileburkan dan include dalam bidang yang ada, artinya KOHATI dimaknai dalam tingkat persepsi dan posisi struktural HMI melalui aktualisasi kader HMI wati dalam bidang-bidang yang ada, tidak ada sekat dan pembeda berdasarkan gender yang dimiliki.


Namun, seiring waktu berjalan dan perjalanan sejarah dengan pergolakan anak  zaman yang ada, maka kondisi ini mulai berangsur menjadi pergeseran pemikiran bersama, dimana KOHATI lebih dimaknai sebagai kebutuhan yang mendasar dan menjadi bagian dari jawaban atas stagnasi pemikiran dan aksi HMI-wati selama ini. 
Perkembangan zaman menginginkan wanita sebagai objek sekaligus sebagai subjek bagi kehidupan masyarakat, seperti halnya sebagai anggota KOHATI, harus dapat mempersiapkan diri sebagai calon ibu yang baik, muslimah yang terdidik, pribadi sholihah yang senantiasa memiliki integritas dalam berbagai lini kehidupan. Hal ini tentunya dapat ditempuh melalui proses pembinaan oleh KOHATI itu sendiri menurut konsepsi yang ada.   

KOHATI memiliki tujuan “Terbentuknya sosok mar’atussholihah yang mampu melakukan upaya transformatif dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang diridhoi ALLAH SWT”. Seperti yang tertuang dalam pedoman dasar KOHATI tentang citra diri KOHATI yang mengkendaki HMI wati mandiri dalam segala hal diantaranya adalah kemandirian spiritualitas mar’atussholihah, kemandirian dalam bidang pendidikan, politik, sosial kemasyarakatan, dan bidang ekonomi. Karena Pada hakikatnya KOHATI terbentuk untuk menciptakan kader – kader ulil albab sebagai wujud integral kelembagaan dalam pencapaian tatanan masyarakat yang diridhoi ALLAH SWT. Idealnya memang seperti itu, namun usaha yang selama ini dilakukan ternyata belum dapat menyentuh pada tatanan penyadaran bahwa  KOHATI  sebagai wadah aktualisasi kader putri/ akhwat dan juga partner kerja dari seluruh elemen kepengurusan, bukan hanya sebagai pelengkap bagi HMI.

Sebenarnya, secara teoritis para kader KOHATI memiliki “chance” atau kesempatan yang lebih banyak dari segi wawasan dan pengalaman dibandingkan para pemudi yang non organisasi tergantung pada kemauan dan kemampuan dari para kader akhwat sendiri, modal utama bagi suatu keberhasilan adalah pendidikan tinggi yang berarti akan melahirkan wanita – wanita sarjana, apalagi di tunjang dengan pola pendidikan HMI menjadikan kelompok terdidik wanita muslimah yang nantinya sadar akan hak, tanggung jawab dan peranannya sesuai ststus yang diembannya. 

Dapat dikatakan bahwa tantangan yang tengah dihadapi oleh KOHATI saat ini adalah (a) Maraknya budaya matrealisme, hedonisme dan apatisme. (b)Maraknya pro kontra diskursus feminisme yang berdampak pada lahirnya golongan-feminisme liberal dan feminisme radikal, bahkan apatis terhadap perkembangan isue tersebut. (c) Muncul pula golongan islam tekstualis yang menyamakan ajaran islam dengan budaya bangsa arab (islam terbatas pada sekedar symbol. (d) Minimnya pemahaman dan internalisasi ajaran islam. (e) Sistem birokrasi kampus yang cenderung “membonsai” potensi mahasiswa. (f) Kader akhwat semakin terjebak pada kultur patriarkhi.

Ada beberapa solusi atau langkah penanggulangan yang sudah dirumuskan pada setiap saat diadakannya Penataran KOHATI dengan mencoba menganalisis kondisi kader putri dalam rekayasa masa depan KOHATI yaitu memunculkan sosok kader putri pada forum yang biasanya tidak didominasi kaum putri (kajian dan aksi), membangun kemandirian tanpa harus meninggalkan kodrat biologisnya (menjaga aurot dsb), mencitrakan diri dengan potensi yang ada, bukan sekedar “simbol wanita” saja (konco wingkeng, macak, manak dan masak dll), berani membuktikan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki dengan bentuk partisipasi aktif (mengikuti setiap jenjang pendidikan yang ada, berani tampil di garda depan perjuangan, menjadi partner yang seimbang dengan kader putra) dan tidak meng “eksklusif” kan diri pada komunitas kohati semata.

Pada realitasnya sepertinya kader akhwat saat ini belum siap menerima kembali status dan kedudukannya dalam meningkatakan kualitas fungsinya sebagai kohati. Tantangan tersebut belum bisa dihadapi sepenuhnya, banyak wacana namun sedikit aksi yang terealisasi sehingga menjadikan pergerakan KOHATI  mandeg dalam berkreasi. Faktor internal kader lebih dominan mempengaruhi, belum sepenuhnya muncul keberanian untuk menjadi pribadi mandiri,  minimal tidak menjadi “benalu” yang sering merepotkan orang lain, melakuakn apa yang bisa dilakukan dengan usaha maksimal. Dengan melihat realitas semacam ini, maka dibutuhkan gebrakan yang lebih representatif untuk menumbuhkan kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki setiap kader akhwat. Selain itu juga dibutuhkan keikhlasan yang utuh dari segenap HMI-wan untuk menerima kehadiran lembaga KOHATI melalui dukungan dalam upaya memahami dan ikut serta memajukan potensi kader putri HMI. 

Melalui ikhtiar tersebut diatas, diharapkan akan terwujud pemahaman bersama akan pentingnya peran serta dari semua pihak yang terlibat langsung dalam organisasi HMI; baik kader, pengurus maupun alumni dalam mewujudkan cita HMI sebagai organisasi yang memberikan kemaslahatan bagi ummat manusia yang utuh, tidak terbatas oleh ras, gender maupun status sosial yang ada, sehingga diharapkan optimalisasi peran serta dari semua pihak mampu terwadahi secara baik dan konstruktif dalam pengembangan organisasi secara umum, meupun pribadi-pribadi yang terlibat didalamnya sebagai representasi HMI yang mampu berupaya memberikan percikan rahmat bagi seluruh alam sebagai bukti perannya sebagi hamba Allah dan sekaligus Kholifah di bumi.

2 komentar: