Kamis, 14 April 2011

Sang Pencari

Mahasiswa pada hakikatnya menurut Romo Mangunwijaya (alm.) dalam novelnya Burung-burung Manyar adalah ‘sang pencari’. Mahasiswa bukanlah benda yang stagnan, tidak bergerak dan bebas diperlakukan sebagai objek. Tetapi mahasiswa adalah salah satu elemen yang terus menerus bergerak layaknya bumi tempat manusia hidup berputar pada porosnya, ataupun seperti matahari yang terus memancarkan sinarnya tanpa henti. Mahasiswa bergerak mencari sesuatu, seolah-olah sesuatu itu benda berharga miliknya yang sedang hilang.

Apa yang Dicari?
Banyak hal yang harus dicari oleh mahasiswa, salah satu di antaranya adalah ilmu. Ilmu disini bukanlah ilmu yang ada di kampus-kampus kita yang terlihat monoton, bahkan “menyesatkan” mahasiswa. Tapi ilmu yang betul-betul bermanfaat baik bagi mahasiswa itu sendiri maupun orang lain secara keseluruhan. Dan, ini hanya kita dapatkan di luar kampus dalam proses interaksi kita dengan banyak orang baik itu dalam organisasi maupun pergaulan dengan sesama manusia lain yang cinta akan ilmu pengetahuan.

Tidak hanya orang yang mempunyai dan cinta ilmu pengetahuan yang harus didekati (dicari) oleh mahasiswa, tetapi ada sekelompok lain manusia, yaitu manusia yang tidak mampu mengakses ilmu pengetahuan dan materi untuk bertahan hidup seperti apa yang didapatkan oleh kebanyakan mahasiswa. Mereka-mereka yang berada di posisi bawah, kelompok termarjinalkan, orang-orang yang selama ini menjadi sub-ordinat negara, inilah sebenarnya yang harus “ditemukan” oleh mahasiswa. Penemuan manusia jenis ini adalah efek dari penemuan kelompok manusia pertama (berilmu) tadi. Artinya berbuat untuk orang lain adalah esensi hidup manusia (mahasiswa) di dunia ini. Ada hadits yang mengatakan: sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Bukhari dari Ibnu Jabir).
Proses penemuan ini tidak semudah yang dibayangkan. Pengorbanan adalah kunci dari semuanya. Tanpa pengorbanan mustahil apa yang dicari bisa ditemukan.

Sebagaimana kita ketahui musuh paling berat bagi mahasiswa sekarang ini adalah globalisasi. Globalisasi masuk ke setiap sudut kehidupan tanpa bisa kita membendungnya walaupun kita mempunyai seribu satu jurus sekalipun. Teknologi adalah instrumen globalisasi yang membuat globalisasi itu sendiri bebas tanpa hambatan menguasai kehidupan kita. Teknologi modern menjadikan kita terasing di tengah-tengah manusia lainnya jika kita tidak ikut menghamba kepadanya. Nah, disinilah dibutuhkan yang namanya pengorbanan tadi. Kita butuh sekaligus mau akan keterasingan tersebut. Terasing bukan berarti kita tidak menyumbangkan sesuatu bagi peradaban umat manusia. Kata Paulo Coelho (2009), novelis Brazil, sekecil apa pun sumbangsih seseorang, ia tetap akan mementukan arah sejarah umat manusia (peradaban). Hanya mau dengan keterasinganlah yang membuat kita bisa memasuki celah-celah globalisasi. Karena globalisasi hanya menyisakan sedikit saja celah bagi kita untuk untuk tidak meluluh mengikutinya.

Dalam sejarah peradaban umat manusia, Nabi Muhammad saw adalah satu dari banyak manusia yang mau terasing. Beliau berani melawan kapitalisme yang menggila di tanah Arab ketika itu dengan hidup sederhana. Beliau juga melawan hedonisme dengan laku spiritual yang beliau jalani, dan melawan penguasa yang menindas rakyatnya dengan berjuang bersama rakyat yang ditindas tersebut. Dengan menjalani laku ini, maka secara otomatis konsekuensi yang harus dihadapi adalah terasing atau dikucilkan dari kebanyakan masyarakat Arab ketika itu. Tetapi usaha beliau pada akhirnya menemukan hasilnya. Peradaban Islam sempat menjadi peradaban terbesar pada masanya dan sampai hari ini Islam tetap eksis sebagai salah satu agama terbesar di dunia.

Siap-siap menjadi terasing dalam dunia modern bagi mahasiswa adalah hal tersulit yang dihadapi dalam proses mencari seperti dijelaskan di atas. Dalam persinggungannya dengan globalisasi, mahasiswa menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pilihan dilematis harus dijatuhkan seperti makan buah simalakama. Di satu sisi mahasiswa harus mengikuti kemauan globalisasi dan larut di dalamnya, di sisi lain mahasiswa menjadi ingkar dengan globalisasi dan menjadi manusia lain di tengah-tengah komunitasnya. Dua pilihan ini mempunyai konsekuensinya masing-masing, yaitu diterima atau dikucilkan oleh masyarakat di mana ia berada. Di tengah-tengah mahasiswa lain yang hanyut dibuai globalisasi, kita harus siap dengan strategi jitu yang kita miliki untuk berkelit dari globalisasi. Bukan berarti kita anti globalisasi, tetapi kita harus memainkan peran-peran khusus dalam serangan globalisasi yang membabi buta tersebut. Kita bisa berbeda dengan mahasiswa kebanyakan.

Kita harus mencari orang yang berilmu dan menemukan orang yang tidak beruntung dalam kehidupan ini. Perjuangan ekstra keras mutlak harus dibutuhkan dalam proses ini. Kita harus menentukan pilihan antara mencari orang berilmu atau mencari kesenangan materi misalnya. Kita juga harus memilih mencari orang yang marjinal, yang tidak bisa menguntungkan kita secara materi. Lagi-lagi dua pilihan yang sulit! Tetapi kita tidaklah menyerah kalah sampai di sini seberat apa pun tantangannya. Kita harus memilih yang terbaik meskipun pahit.

Orang berilmu bisa menjadi partner bagi kita dalam mengarungi kehidupan ini. Orang berilmu bisa menjadi tempat kita bertanya, menjadi teman curhat yang positif bahkan bisa menginspirasi kita. Perlu diketahui, banyak orang berilmu yang tidak mau berbagi dengan sesamanya terkait dengan ilmu yang dimilikinya. Kita sebagai mahasiswa yang katanya terdidik bisa memilih dalam proses interaksi kita dengan orang yang mempunyai ilmu lebih daripada kita ini. Dari mereka diharapkan kita mendapatkan ilmu yang lebih, yang bisa menunjang kehidupan kita kelak. Jika kita tetap mempertahankan tradisi bergaul dengan orang yang berilmu ini niscaya kita akan merasakan dampak positifnya. Waktu kehidupan kita tidak akan sia-sia karena dihabiskan untuk menggali ilmu, berdiskusi, dan tentunya bisa menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang ada.

Yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan orang-orang yang tidak seberuntung kita. Setelah mereka ditemukan kita bisa bergaul sekaligus bagaimana supaya mereka bisa mendapatkan akses terhadap kebutuhan hidup yang pokok maupun tidak pokok. Mereka ini wajib “ditemukan”, karena selama ini posisi mereka selalu menjadi nomor dua. Selain itu, kita tidak bisa berharap pada negara, yang sebenarnya menjadi tugasnyalah melindungi kelompok-kelompok terpinggirkan ini. Tetapi seperti realitas yang kita hadapi hari ini, mereka tidak dipenuhi hak-haknya, bahkan yang paling menyedihkan mereka dieksploitasi oleh negara. Misalnya apa yang terjadi pada tenaga kerja kita di luar negeri. Oleh karena itu, orang-orang seperti ini sangat membutuhkan mahasiswa, karena mahasiswa adalah salah satu elemen pembentuk civil society selain pers, LSM dan lain sebagainya.

Berkorban dalam bentuk advokasi, dan bentuk-bentuk kepedulian lainnya terhadap mereka sangatlah aneh menurut pandangan mayoritas mahasiswa saat ini. Sebagian mahasiswa hanya peduli dengan diri sendiri, sibuk dengan kesendirian, atau dalam bahasa lain, desosialisasi. Kenyataan seperti ini terpaksa kita terima karena inilah fakta riil yang ada di tengah-tengah kita. Mahasiswa pada umumnya terjebak dengan kemapanannya. Mereka mempunyai akses akan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, informasi dan lainnya. Dengan kemapanananya mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan. Keterpesonaan ini membuat mereka lupa akan realitas di mana mereka berada. Masih banyak orang di sekitar kita yang membutuhkan peran-peran mahasiswa. Mereka butuh advokasi dari mahasiswa. Keterpesonaan ini juga membuat mahasiswa tidak mau mencari orang yang menjadi sub-ordinat di tengah-tengah masyarakat lainnya. Padahal mereka harus ditemukan dan dirangkul untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Perangkulan yang dilakukan bisa dengan berbagai jalan. Satu di antaranya mahasiswa harus berani menjadi oposisi dari pemerintah yang abai dengan penderitaan rakyat hari ini. Hal ini menjadi tugas mahasiswa di tengah-tengah keprihatinan hidup bernegara hari ini yang mana masyarakat miskin hanya menjadi objek di tengah-tengah negara. Negara mengenyampingkan mereka deangan pengabaian hak-hak hidup mereka. Mereka dikucilkan dan menjadi kelompok masyarakat nomor dua dalam kelompok sosial yang ada. Mereka “dilemparkan” ke sudut-sudut negara sebagai barang rongsokan. Mereka dininabobokan dengan berbagai citra para elit negara, padahal mereka mengalami penindasan yang luar biasa, yang dilakukan oleh negara. Mereka dieksploitasi sedemikian rupa hanya demi kepentingan para penguasa negeri ini. Kepentingan sesaat yang berciri individual, yakni individu elit itu sendiri. Dengan bahasa yang lebih ekstrim, masyarakat tertindas ini dianggap tidak ada sama sekali.

Pilihan berani “melawan” negara lagi-lagi adalah pilihan tersulit yang dihadapi mahasiswa karena mempunyai konsekuensi dikucilkan negara seperti apa yang dialami masyarakat tak berpunya tadi. Bahkan tidak hanya dikucilkan, tetapi ada tantangan yang jauh lebih besar, seperti “teror” oleh negara yang berujung kematian yang sudah banyak presedennya di negeri kita ini. Resiko berat yang dihadapi ini terkadang bisa membuat mahasiswa tidak konsisten dengan perjuangannya, yang harus dilalui dengan pengorbanan tersebut. Mahasiswa saat ini tentunya lebih tergiur dengan kehidupan instan yang dibentuk oleh peradaban digital yang memikat belakangan ini, daripada mengetuk hati untuk peduli dengan problem sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ini yang menjadi PR bagi mahasiswa dalam rangka “melawan” negara tadi.

Segenap kemampuan yang dimiliki harus dikeluarkan oleh mahasiswa. Satu di antaranya kemampuan analisis. Mahasiswa selama ini terkenal dengan ide-ide segarnya dalam memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi dalam realitas kesehariannya. Mahasiswa selalu mampu membuat gebrakan jitu untuk menyelesaikan beragamnya permasalahan bangsa yang dihadapi. Tentunya semua ini tidak perlu kita ragukan lagi. Kita selalu terpesona dengan keberhasilan mahasiswa mengganti rezim kekuasaan di negara kita. Bahkan sebelum negara terbentuk pun maahasiswa adalah elemen yang tidak bisa diketepikan.

Sekarang tinggal tugas kita sebagai mahasiswa yang ditakdirkan hidup di abad 21 (disebut juga abad digital). Tugas berat yang dihadapi sudah sangat berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa pada abad ke-19 atau 20. Dengan teknologi komunikasi yang serba canggih sekarang ini, kita harus menggali (mencari) apa yang hilang. Mencari sesuatu yang menjadi dasar kita dalam mengelolah masalah yang tidak sedikit di negara kita tercinta ini. Berbagai masalah kebangsaan setiap harinya muncul ke permukaan. Di sinilah perlunya pencarian tanpa henti dan kebijaksanaan dari mahasiswa untuk menghadapinya. Tantangan yang semakin berat, permasalahan beragam, adalah hal yang harus dihadapi. Mari mencari!!

(Darwin Jsn, kader setia HMI Komisariat Fisipol, UMY)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar