Selasa, 12 April 2011

Identitas yang Retak


Data buku

Judul: Ambivalensi, Post-kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama di Indonesia
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan I: Desember 2010
Halaman: xxiv+174
Editor: Budiawan
Penulis: Boy Nugroho, Sandria Komalasari, Muhammad Hadid, Y. Sanaha Purba, Norita N. Sembiring, Ferdiansyah Thajib, Sutrisno, Choirotun Chisaan, dan Ridwan Muzir.
ISBN: 978-602-8252-61-4


Berakhirnya kolonialisme di kawasan Asia dan Afrika termasuk Indonesia pada paruh abad dua puluh telah meninggalkan jejak-jejak pergulatan menumbuhkan identitas. Di satu sisi masyarakat bekas jajahan mengalami masa-masa traumatis dalam lintasan sejarah kolonialisme, namun di sisi lain berusaha untuk manyamai si penjajah dalam kemajuan dan keberadabannya. Ada sebentuk kemarahan yang meluap-luap tentang memori-memori kelam kolonialisme tetapi sekaligus juga kerinduan akan pencapaian yang sama seperti pihak penjajah. Hal ini menimbulkan sebentuk ambivalensi yang tampak vulgar dalam produk-produk kultural masyarakat terjajah.

Di tengah situasi retak secara kultural inilah, masyarakat bekas jajahan berusaha membangun formasi identitasnya. Dalam usahanya, tarik menarik antara kebencian dan keterpesonaan terhadap sang penjajah hadir secara bersamaan. Maka, lahirlah sesuatu yang tampak ambigu, aneh, ganjil, inkonsisten, namun nyata berkelindan dalam praktik-praktik kultural sang bekas terjajah. Penampakan ini lebih banyak terlihat sebagai sebuah efek lanjut dari kolonialisme, terlebih ketika ia secara fisik tidak lagi hadir.

Adalah oposisi biner yang menjadi ranah relasi sang penjajah dan terjajah. Sang penjajah diidentikkan sebagai yang beradab, maju, modern; sedangkan sang terjajah diidentikan dengan tidak beradab, terbelakang, pra-modern. Relasi seperti ini menyimpan hasrat kuasa sang penajajah. Kuasa kolonial yang selalu berusaha menjinakkan sang terjajah. Usaha menjinakkan ini adalah sebentuk tanggung jawab yang diemban oleh sang master kolonial guna memberadabkan, memajukan, dan menjadikannya modern. Inilah yang disebut oleh Frantz Fanon (1967) sebagai “the white man’s burden”.

Namun, dalam usaha pemberadabannya, alih-alih menjadikannya sebagai usaha menuntun subjek terjajah untuk menyamai sang penjajah, justru yang timbul adalah ketakutan sang penjajah akan munculnya “the wild other” subjek terjajah akibat dari gagal appropriasi. Gagal appropriasi bisa terlihat dari tindakan ganda dan ambigu yang diambil oleh sang penjajah terhadap subjek terjajah. Dalam relasi keduanya, identitas sang penajajah tak kalah rumitnya dibandingkan dengan sang terjajah.

Relasi Tak Setara
Esai-esai dalam buku ini berusaha menelusuri bentuk ambivalensi akibat relasi tak setara subjek-subjek yang terlibat di dalamnya. Tema-tema dalam buku ini terhimpun dalam payung studi poskolonialisme yang relative baru dalam perkembangannya. Studi ini banyak menjadi sorotan ketika buku fenomenal Edward Said, Orientalism (1978) muncul ke permukaan wacana akademik. Said dalam bukunya berusaha membongkar relasi Timur-Barat yang baginya adalah sebentuk relasi kuasa. Timur tidak pernah menjadi timur dengan sendirinya, tapi sebuah anggitan dari oposisinya dengan barat. Relasi timur-barat ini mengandung kuasa pengetahuan dimana Timur dengan atributnya yang dilekatkan oleh Barat dalam oposisi biner adalah bentukan, penemuan, serta objek operasional hasrat barat.

Dalam kata pengantar buku ini, Budiawan sekaligus editor, berusaha menerangkan latar belakang tulisan-tulisan yang ada di dalamnya. Konsep ambivalensi, menjadi benang merah yang menghubungkan kesemua tulisan di dalamnya. Ambivalensi dalam kaitannya dengan konsep yang lain (mimikri, hibriditas, ‘ruang antara’, parodi, hegemoni-resistensi) menjadi satu kerangka berpikir dalam membedah relasi kuasa yang hadir dalam formasi identitas pasca-kolonial. (hlm. xi). Identitas pasca-kolonial adalah sebentuk proses negosiasi keberadaan diri dan liyan yang berlangsung terus menerus, alih-alih sebagai suatu produk yang ajeg.

Dari Musik Hingga Agama

Buku ini terdiri dari sembilan tulisan yang ditulis oleh sembilan penulis. Tulisan Boy Nugroho “Se-Rambut Tak Se-Musik: Mimikri Dalam Musik dan Musisi Pop Indonesia Hari Ini”, mengulas potongan rambut musisi lokal yang sangat mirip dengan musisi emo, aliran musik yang memiliki akar punk. Uniknya musik lokal yang para pemainnya memiliki potongan rambut emo ini, sama sekali tidak memiliki akar emo dalam musiknya, bahkan cenderung pop “melow” alias mendayu-dayu. Namun, model rambut ala musisi emo ini banyak ditiru oleh para remaja di tanah air, bahkan oleh mereka yang tak tahu apa-apa tentang musik emo. (hlm. 9)

Tulisan Boy ini menukik pada persoalan identitas yang tumbuh ganjil dalam perkembangan proses peniruan rambut emo ini oleh sebagian musisi lokal dan para remaja. Emo yang hadir pertama lebih menonjolkan sebentuk aliran bermusik, namun pada perkembangannya di Indonesia lebih sebagai tren rambut, yang bahkan seringkali dalam prakteknya tak berhubungan lagi dengan aliran musiknya.


Tulisan lain adalah relasi barat dan dunia Islam yang asimetris yang menjadi pembahasan Muhammad Hadid. Hadid mengambil satu contoh bentuk reaksi balik “timur” terhadap “barat” dalam relasinya yang ambigu. Timur, yang sering diidentikan dan digunakan secara serampangan dalam kaitannya dengan Islam, memandang barat sebagai “kafir” namun di sisi lain berusaha untuk meniru penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuannya. (hlm. 42).

Dalam hal ini seringkali barat “terwakilkan” dari sikap-sikap politik luar negeri Amerika yang tak jarang bersifat coersive terhadap sebagian negara-negara Muslim. Amerika dalam relasinya dengan Dunia Islam lebih sering berwajah ganda. Di sisi lain Amerika merasa perlu mendemokratiskan negara-negara mayoritas Muslim yang dipimpin oleh para diktator, namun di sisi lain sangat anti pati dengan kemunculan Islam politik yang tak jarang memperlihatkan wajah permusuhan terhadap kepentingannya. (hlm. 42-48)

Norita N. Sembiring dalam tulisan yang lain dalam buku ini berusaha menelusuri ambiguitas subjek terjajah dan penjajah misi penginjilan di Tanah Karo, Sumatera Utara pada masa pra kemerdekaan. Norita berusaha membaca ulang usaha “kristenisasi” oleh Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) di tanah Karo yang bersifat ambigu. Misi injili ini berjalan tumpang tindih dengan usaha kolonial membuka perusahaan-perusahaan perkebunan. Namun misi ini menawarkan sebentuk “kemajuan” dengan dibukanya sekolah-sekolah dan rumah sakit di Tanah Karo. (hlm. 73).


Dalam usahanya menjadi Kristen, masyarakat Karo terbelah. Di satu sisi menginginkan kemajuan yang ditawarkan pihak Zending, namun di sisi lain memasang raut memusuhi terhadap “pemaksaan” ritual-ritual yang tak ada presedennya dalam budaya mereka. Maka lahirlah masyarakat Karo dengan kekristenannya yang berbeda dengan pihak Zending. (hlm. 76)

Buku ini berusaha meramaikan lalu lintas wacana akademik tentang kajian-kajian postkolonialisme maupun ilmu-ilmu sosial humaniora pada umumnya. Walaupun tidak begitu sistematis dalam penyusunan tema-temanya, namun ditengah miskinnya buku yang membahas tentang kajian ini, buku ini layak dibaca. Mungkin kita tidak akan mendapati tema-tema yang lebih seragam dari buku ini, karena selain bawaan dari studi postkolonialisme yang membidik tema-tema yang sangat luas dan beragam, juga tulisan-tulisan dalam buku ini diambil dari tugas mahasiswa pada mata kuliah “Teori-Teori Post-Kolonial” Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

Buku ini juga menambah khazanah perbukuan kita dalam deretan buku studi poskolonial. Selain juga bisa diperbandingkan dengan buku yang mengusung tema serupa dalam pembahasannya seperti “Hermeneutika Pascakolonial” (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, edt, Kanisius. 2004.), “Islam Pasca-Kolonial” (Ahmad Baso, Mizan. 2005), atau “Dekonstruksi Seksualitas Postkolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama” (Moh. Yasir Alimi Yogyakarta: LKiS, 2004). Terakhir, mari menyelami horizon postkolonialisme (di) Indonesia!


(Angga Yudhiyansyah, Mahasiswa Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) UGM,
Pegiat Relief (Religious Issues Forum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar