Selasa, 12 April 2011

Islam, Pembebas Perempuan

“Perempuan Adalah Partner Laki-laki”
(Islam)

Masalah perempuan adalah persoalan yang banyak menaruh perhatian untuk dikaji oleh berbagai kalangan baik di negara yang mayoritas beragama Islam hingga negara yang paling sekuler sekalipun. Kehadiran mereka diakui atau tidak, memiliki arti penting dalam pembangunan peradaban di muka bumi ini. Lain daripada itu posisi perempuan juga mempunyai kedudukan yang signifikan dalam tinjauan agama-agama dunia kini. Begitu juga perdebatan yang terjadi adalah hampir kebanyakan berada dalam wilayah posisi dan peranan sosial mereka dalam ranah domestikal dan publik. Banyaknya tinjauan berbagai disiplin ilmu pengetahuan cukup membuat perdebatan sekitar perempuan menjadi pelik bahkan menimbulkan aliran dan gerakan-gerakan tertentu. Salah satu yang menjadi mainstream perhatian dunia terhadap gerakan perempuan adalah apa yang disebut dengan gerakan feminisme global.

Kuatnya arus sistem patriarki telah membuat para wanita di dunia untuk melakukan sebuah gerakan revolusi sosial menentang dominasi kuat kaum maskulin yang terkadang cukup represif dalam tanda kutip. Karena pada masa-masa tertentu perempuan pernah sering ditindas dan hanya dianggap sebagai secondary entity dan makhluk subordinatif kaum laki-laki, sehingga posisi dan peran mereka dipandang sebelah mata. Hal itulah yang membuat beberapa gerakan feminis yang ingin meruntuhkan struktur patriarki tersebut.

Sedikitnya menurut Mansour Fakih terdapat dua pola umum dari gerakan mereka. Pertama, melakukan transformasi sosial dengan perubahan eksternal yang revolusioner (feminis modern). Para feminis dalam kelompok ini berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki–laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki–laki. Untuk itu perempuan perlu mengadopsi kualitas maskulin agar mampu bersaing dengan laki–laki. Kedua, melakukan transformasi sosial melalui perubahan yang evolusioner (feminis cultural). Para feminis dalam kelompok ini percaya pada pemahaman deterministik biologi, yaitu menegaskan perbedaan alami antara laki–laki dan perempuan sehingga timbul apa yang disebut kualitas feminin dan maskulin. Karenanya, kelompok ini berpendapat bahwa untuk meruntuhkan sistem patriarki dapat dilakukan dengan menonjolkan kualitas feminin.

Perbedaan pendekatan di antara kedua kelompok ini tentu telah menimbulkan perdebatan–perdebatan di antara kalangan feminis sendiri. Hal inilah yang memunculkan kritikan–kritikan yang dikemukakan oleh kedua kelompok tersebut. Para feminis yang tergabung dalam kelompok pertama atau para feminis modern mengkritik kelompok kedua sebagai pola yang justru melanggengkan sistem patriarki. Romantisme kualitas feminin akan menyebabkan perempuan tetap pada posisinya, yaitu sebagai figur pengasuh, pasif, dan pemelihara yang cocok untuk menjadi ibu dan pekerjaan–pekerjaan di sektor domestik. Kelompok kedua mengkritik kelompok pertama karena pendekatannya tidak akan meruntuhkan sistem patriarkis pada dunia maskulin, tetapi hanya mengubah komposisi para aktor–aktornya saja di mana para perempuan sudah lebih banyak aktif di dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki–laki. Para perempuan dianggap sudah menjadi male clone (tiruan laki–laki) di dunia maskulin, yaitu para perempuan yang telah mengadopsi kualitas maskulin (kompetitif, dominan, ambisi vertikal, dan memenuhi kepentingan pribadi).

Kembali Ke Laptop Peradaban
Jauh sebelum fenomena-fenomena diatas terjadi bahkan ribuan tahun yang lalu, para wanita sudah merasakan adanya diskrimasi sosial dan stigmatisasi buruk oleh beberapa kalangan. Orang Yahudi misalnya; memandang bahwa wanita adalah makhluk rendahan. Kongfucu (Confusius) menyatakan bahwa ada dua jenis manusia yang sukar diurus, yaitu turunan orang rendahan dan wanita. Aristoteles malah menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Bahkan seperti yang dinyatakan dalam Rig Weda: 10, 15, 95; “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya, hati wanita adalah sarang serigala”. Kondisi tersebut tidak jauh beda mungkin bisa dikatakan lebih parah seperti yang terjadi di wilayah jazirah Arab pada zaman jahiliyyah. Perempuan dianggap sebagai mahkluk hina dan lemah, kehadiran mereka adalah sesuatu yang tidak diharapkan dalam kehidupan keluarga, sehingga mereka banyak dibunuh sebelum mereka tumbuh dewasa. Apabila mereka mendapati keturunannya adalah perempuan maka secepat mungkin mereka menguburnya hidup-hidup lantaran malu dan takut miskin (An-Nahl : 58-59).

Dalam masyarakat Jahiliah, manusia dinilai menurut kemampuan fungsionalnya di medan pertempuran dan juga produktifitas materialistik mereka. Secara umum masyarakat Arab pada saat itu merupakan masyarakat etnosentris yang gemar berperang dan banyak melakukan kegiatan perekonomian. Sejarah Arab menceritakan bahwa, perang dan persaingan antar suku adalah bagian dari kehidupan mereka. Mereka berharap memiliki kekuatan fisik yang sangat penting untuk membela suku (qhabilah) dan melindungi tanah mereka. Dalam lingkungan yang demikian tersebut, laki-laki adalah simbol keamanan dan kekuatan (superioritas). Pada masa tersebut perempuan juga kerap mengalami kekerasan seksual dan perlakuan tidak adil bahkan mereka dijadikan sebagai obyek dari kegiatan seks transaksional dan bisa diwarisi seperti benda-benda lain (An-Nisa:19). Adapun ketidak-adilan di dalam rumah tangga, khususnya masalah perceraian, di zaman pra Islam tidak ada peraturan maupun batasannya. Seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya kapanpun ia mau dan sesering yang ia inginkan. Dalam masalah warisan, perempuan dan anak kecil tidak mempunyai hak waris. Pewarisan ini merupakan hak istimewa kaum laki-laki karena mereka berperang mempertahankan suku dan melindungi tanah mereka. Mereka biasa berkata “hanya orang yang berperang di atas punggung Kuda dan merampas barang-barang musuh yang berhak untuk mewarisi”.

Habis Gelap Terbitlah Terang
Gambaran ketertindasan kaum perempuan Arab sedikit berubah ketika hadirnya Islam di sana. Agama Islam merupakan agama yang paling akhir terlahir di antara agama-agama Ibrahim lain. Ia lahir dan berkembang berdasarkan wahyu Allah SWT yang disampaikan-Nya kepada nabi Muhammad SAW secara bertahap dan kondisional yang merupakan kelanjutan dan sebagai pelengkap ajaran-ajaran agama sebelumnya. Perlahan tapi pasti ajaran dan pola pikir Islam sedikit juga merubah mainset orang-orang Quraisy terhadap perempuan. Mereka yang dulu dianggap kelas dua mulai diangkat dan diberikan ruang bagi mereka untuk beraktualisasi. Kedudukan mereka sama dimata Allah SWT yang membedakan hanyalah status kelamin dan bagi mereka pahala serta ganjaran yang sama dengan laki-laki atas kebaikan yang diperbuat (Al-Ahzab:35).

Dalam ranah kebebasan ekonomi, Rasulullah mencontohkan bagaimana perempuan dikut sertakan bekerja di luar rumah dalam perniagaan beliau bersama dengan Siti Khadijah. Dalam akses pendidikan, Islam malah sudah mewajibkan mereka untuk menuntut ilmu, serta pendidikan mereka lebih diutamakan seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim dan muslimah”, “Barang siapa yang mempunyai anak perempuan, kemudian mendidiknya, berbuat baik kepadanya, dan mengawinkannya, baginya surga”. Begitu halnya dalam ranah politik mereka juga diberi kebebasan dalam melakukan tindakan politik, tampak seperti ketika 5 orang dari 11 pengikut hijrah pertama kali ke Habsyah pada tahun 615 H adalah perempuan. Dalam peperangan (qital) mempertahankan kemulian Islam, Rasulullah juga memberikan keluasan bagi mereka untuk berperang di jalan Allah (Jihad fi sabilillah) atas persetujuan suami dan keluarganya.

Kesimpulan
Islam menghargai perempuan sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum Adam, perempuan juga memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama dan mutlak dikibarkan. Walaupun Islam memberikan hak sama kepada wanita, Islam juga memperingatkan kita bahwa antara perempuan dan laki-laki tetap berbeda baik secara fisiologis dan psikologis. Dalam pandangan Islam perbedaan tersebut pulalah yang terkadang membedakan peran-peran mereka dalam kehidupan. hal itu juga tidak menunjukkan bahwa salah satu diantara laki-laki dan perempuan yang satu lebih dari lainnya. Akan tetapi Islam sangat mementingkan posisi vital yang merupakan fitrah wanita dalam institusi keluarga, karena mereka adalah istri, ibu, sekaligus sekolah kehidupan bagi anak-anaknya.

(Ade Rahman, Penggiat Studi Peradaban HMI/ Super)

Referensi:

Mansur Fakih dkk. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya : Risalah Gusti, 2000, hlm. 209 – 211.

Drs. Jalaluddin Rahmat MSc. Islam Alternatif: Ceramah-ceramah Di Kampus, Bandung: Mizan 1986, hlm. 124.

Fatima Umar Nasif. Menggugat Sejarah Perempuan. (terjemahan) Burhan Wira Subrata dan Kundan D. Nuryaqien, Jakarta : CV Cendekia Sentra Muslim, 1999, hlm. 50.

Ibid, hlm. 59-61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar