Kamis, 10 November 2011

Term of Reference Latihan Kader II HMI Cabang Yogyakarta

Term of Reference
Penguatan Gerakan Intelektual Sebagai Basis Rekonstruksi Politik Kebudayaan

Ketika kapitalisme mengambil tampuk panglima, eksesnya adalah kesadaran diarahkan pada kalkulasi ekonomis dari setiap aktivitas manusia. Ia menciptakan realitas teknologis yang hegemonik. Praktik-praktik kebudayaan tak lebih dari sebuah alur operasional segala wacana hegemonik yang mengarahkan kita pada skema narasi besar (master narrative). Jika penandaan eksistensi manusia terhadap alam semesta melahirkan kebudayaan, maka saat ini penandaan tersebut diarahkan dalam skema wacana tunggal yang melahirkan kebudayaan sebagai praktik yang tunggal pula. Ruang-ruang kehidupan manusia, dari yang publik hingga yang paling intim sekalipun seperti agama, menjelma praktik-praktik teknis hampa makna tergerus habis di hadapan sang kuasa wacana.

Penghujung abad dua puluh lahir satu bentuk ideologi mapan yang berusaha mengakuisisi setiap sudut kesadaran manusia: demokrasi liberal dan anak kandungnya kapitalisme global. Keduanya hadir bagai secarik resep dokter yang menuntut lekas dibayar tunai. “Tak ada jalan lain, semuanya sudah berakhir” begitu kira-kira kata Francis Fukuyama sang arsitek kebijakan luar negeri Paman Sam (Fukuyama;1992). Baginya, evolusi ideologi terkulminasi dengan berkibarnya bendera demokrasi liberal dan kapitalisme sebagai sebuah tonggak pencapaian umat manusia. Di sini Fukuyama menolak mentah-mentah segala ramalan Karl Marx tentang mimpi masyarakat tanpa kelas ala komunisme.

Tentu saja Marx tidak menyangka bahwa kini Kapitalisme berubah lentur sekaligus kenyal. Deferensiasi kelas antara pemodal dan pekerja tidak lagi hadir sebagai realitas objektif, namun ia mengalami proses dialektika dengan praktik-praktik diskursif dalam masyarakat. Seorang buruh pabrik di Tangerang mampu membeli tiruan Blackberry hanya untuk mengidentfikasi dirinya dengan imajinasi kelas gedongan yang kerap hadir dalam utopia sinetron-sinetron Om Ram Punjabi. Sang buruh tak lagi hanya menjadi mesin produksi, namun juga ia menjadi mesin penyerap segala hasil produksinya. “Siapa pun anda, silahkan nikmati sepuasnya!” begitu kira-kira adagium yang berlaku.

Maka lahirlah komodifikasi gaya hidup. Ia berjalan alamiah menghasilkan kedangkalan. Mitos-mitos kemajuan dan kemodernan membanjiri kita tak henti-hentinya. Mitos adalah proses konotasi yang terus-menerus terjadi dalam masyarakat hingga akhirnya diterima bagai sebuah praktik alamiah belaka (Barthes; 1967). Pada saat bersamaan mitos berubah wujud menjadi ideologi ketika negara, sekolah hingga media mengakomodasi dan ikut serta memproduksinya. Sebagai contoh, pendidikan. Jangan bayangkan pendidikan sebagai sebuah ideal kemanuasiaan karena ia tak lebih sebagai instrumen pengukuhan kelas dominan. Piere Bourdieu, seorang sosiolog Prancis mengatakan bahwa pendidikan menjadi arena produksi kelas terdidik yang pada akhirnya mengisi ruang-ruang korporasi dan birokrasi (Bourdioue; 1977). Dari merekalah mekanisme produksi wacana kebudayaan semakin bertaring. Tampaknya kanal-kanal resistensi tertutup rapat. Pada akhirnya politik kebudayaan kita tak lebih dari praktik hegemonik produksi nilai kelas dominan yang naasnya justru lahir dari rahim pendidikan.

Alternatif Mengada
Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya, menempati posisi yang istimewa. Keistimewaan itu terletak pada kemampuannya untuk memahami tentang segala hal termasuk dirinya sendiri. Pada kehidupannya, manusia tak hanya menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, melainkan juga sekaligus sebagai cermin atas realitas dari proses persepsi yang dilakukannya. Persepsi yang coba dikemukakan dari proses pengamatan dan interpretasi itu adalah gambaran dari kebudayaan yang sedang atau telah lampau dijalaninya. Selain proses pengamatan dan interpretasi, realitas dalam proses pencerapannya juga bersinggungan dengan komunitas dan juga simbol untuk menghadirkan sebuah realitas yang sedemikian kaya makna. Dengan begitu dapat dikatakan kebudayaan hadir dari pengamatan manusia yang didasari oleh latar ideologis yang membentuknya. Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh hamparan alam semesta sejauh telah ditandai oleh eksistensi manusia (Hikmat Budiman: 2008).

Pelbagai macam kalimah dalam ayat al-Qur’an yang berarti “manusia”, seperti basyar, insan, nas, unas, ins, imra’, rajul, atau yang mengandung pengertian perempuan seperti, imra’ah, nisa atau niswah. Selain itu, berbagai jenis manusia yang telah terbentuk dalam ciri-ciri personalitas seperti al-atqa, al-abrar, atau ulu al-albab, juga manusia sebagai bagian dari kelompok sosial, seperti al-ashqa, dzu al-qurba, al-dhu’afa, atau al-mustadh’afin, yang semuanya mengandung berbagai petunjuk mengenai manusia dalam hakikatnya dan manusia dalam bentuknya yang kongret (Rahardjo: 2005). Kata dalam ayat itu, sekiranya dapat dipahami adanya manusia itu belum mampu menghadir untuk memperoleh pengetahuan tentang apa yang ada (das sein) dan bukan tentang apa yang seharusnya ada (das sollen), yang bersifat transenden dan bukan pada rumusan deduktif-monologis. Disinilah tugas “pemikir yang tercerahkan” untuk menjadikan seluruh hamparan alam semesta bermakna sebagai ciptaan-Nya. Terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis serta membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Ia juga menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat; mendidik masyarakatnya; melancarkan dan membimbing pada pengalaman estetik dan keagamaan berbagai sektor masyarakat dan menemukan kebenaran (Ali Syari’ati: 1993).

Bila kebudayaan sebagai struktur utama masyarakat manusia-sebagaimana yang ditafsirkan oleh Morris Dobree dan Oswald Spengler-, maka bahwa hidup, aktif dan matinya suatu masyarakat, tergantung pada kebudayaan yang disandangnya (Ali Syari’ati: 1993). Kegalauan masyarakat ditengah kondisi abjeksi ini, gerakan intelektual setidaknya hadir untuk semakin menguatkan keberpihakannya, sekaligus sebagai daya-bangun kebudayaan secara kritis dan tindakan yang berorintasi pada pencapaian pemahaman. Penguatan gerakan intelektual sebagai politik etis kebudayaan menempatkan seorang intelektual tak hanya berjibaku dengan dunianya sendiri, tetapi dengan serta merta aktif berposisi untuk mewujudkan, memperbaharui atau memperbaiki.



Daftar pustaka

Piere Bourdieu (1977), Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage.
Roland Barthes (1967), The Elements of Semiology. Hill & Wang.
Francis Fukuyama (1992), The End of History and The Last Man. New York: Pinguin books.
Hikmat Budiman (2008), Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Ali Syariati (1993), Ideologi Kaum Intelektual. Bandung: Mizan.
Dawam Rahardjo (2005), Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial. Jakarta: PSAP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar