Minggu, 17 April 2011

Membangun Jiwa Kepemimpinan Dalam Diri Perempuan

Islam adalah agama yang mempunyai spirit keummatan universal, hal ini sebagaimana dalam perjalanan sejarah kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW sebagai tonggak penyebaran agama Islam yang rahmatan li al’alamiin. Hal ini merupakan bentuk implementasi ajaran Islam, dalam artian rahmat bagi kaum laki-laki maupun rahmat bagi kaum perempuan, baik pada masa lalu, kini maupun masa mendatang. Diantaranya pada persoalan keadilan peran dan fungsinya dalam menjalankan proses kehidupannya.

Dalam perkembangan masyarakat saat ini, masih terdapat pola interaksi dan komunikasi masyarakat yang belum memiliki sensitivitas gender. Disamping itu pemahaman atau justifikasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui pemahaman yang tidak komprehensif dan cenderung parsial justru sering dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan, bukan sebagi pedoman dalam memberikan keadilan.

Keadilan- ‘Adl- (Justice-) merupakan inti ajaran Islam. ‘Adl dalam bahasa Arab bukan hanya berarti keadilan, tetapi juga mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat yang mengandung makna penyamarataan (equalizing) dalam kesamaan (levelling). Keadilan bermuara pada adanya keharmonisan peran dan fungsi manusia dalam proses kehidupan sebagai bentuk kerjasama yang saling melengkapi satu sama lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah bangsa Indonesia yang memiliki kuantitas muslim mayoritas.

Dalam konteks pembahasan keadilan peran dan fungsi manusia, maka diperlukan penyadaran sensitivitas sosial kepada muslimin agar mampu survive ditengah kemajuan zaman dan keragaman pola kehidupan masyarakat dibelantara dunia, dengan catatan tanpa menghilangkan pesan moral (ruh yang menjiwai) ajaran agama Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadist yang ajarannya (seharusnya) dilaksanakan dengan menyeimbangkan antara konsep hablu min-allah wa hablu min al-nas.

Hal ini sebagaimana merujuk pada ayat yang menjelaskan persatuan antara umat Islam adalah laksana bangunan yang saling mengokohkan, bukan saling menjatuhkan. Apabila ada salah satu yang terdholimi (mustadh’afin), maka sesegera mungkin dibenahi. Dalam konteks penafsiran ayat ini termasuk pada dialektika dan pemahaman makna ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum perempuan sendiri yang seolah melakukan praktek pendholiman potensi dirinya.

Banyak diantara perempuan yang sampai saat ini masih merasa enjoy dengan proses penyatuan penerjemahan mengenai peran dan fungsinya. Dimana proses berkehidupan hanya dengan menitikberatkan pada aspek kodrat biologisnya semata dan cenderung statis terhadap perannya dalam dimensi sosial kemasyarakatan. Hal ini termasuk dalam mempersepsi potensi kepemimpinan yang dimilikinya dan membatasinya dengan kodrat biologis yang dimilikinya. Maka tidak mengherankan jika seorang cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat yang menyatakan bahwa citra perempuan yang ideal dalam Al-Qur’an ternyata tidak sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah dunia Islam.

Namun, perlu penulis garis bawahi, bahwa secara implisit konteks keadilan dalam tulisan ini bukan bermaksud untuk mengangkat dan memperdebatkan konsep kepemimpinan dalam bingkai perdebatan kesetaraan gender an sich. Melainkan sebuah refleksi bersama mengenai kesadaran potensi kepemimpinan perempuan yang selama ini memang belum teraplikasikan secara berimbang di lingkungan masyarakat (khususnya Indonesia). Padahal perempuan memiliki peran signifikan sebagai bagian dari tiang-tiang penopang kebangkitan bangsa ini.

Dalam upaya membangun dinamisasi dan produktivitas kemajuan bangsa ini, maka perlu diperhatikan adanya proses membangun paradigma keadilan peran dan fungsi perempuan. Hal ini penting mengingat bahwa kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan dari sejauhmana keinginan masyarakat untuk membangun kualitas diri, salah satunya adalah berani merubah realitas masyarakat yang kontraproduktif terhadap kemajuan masyarakat. Dimana kualitas masyarakat dapat diukur dari sejauh mana kualitas dinamisasi pemikiran dan tindakan yang secara otimatis akan melakukan pengkondisian tatanan kehidupan didalamnya.

Dalam konteks kebangsaan dan kemajuan peradaban saat ini, dibutuhkan adanya sebuah perubahan. Yakni melalui pembentukan paradigma berpikir dari pelaku perubahan tersebut, sebab mustahil suatu kaum akan dapat melakukan perubahan manakala pola pikir dan cara pandangnya masih “bermasalah” (statis-pro status quo). Sehingga upaya perubahan paradigma adalah sebuah keniscayaan (baca: keharusan), termasuk menyangkut optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan dan sejauh mana urgensi perubahan paradigma berpikir dalam upaya perubahan kualitas masyarakat terkait dengan potensi kepemimpinan kaum perempuannya.

Meretas Jalan Pemahaman Peran Dan Fungsi Perempuan Dalam Bingkai Budaya Masyarakat Indonesia
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari sana munculah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh dan sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.

Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan dan secara nyata budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Disinilah kepribadian manusia yang merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi kerangka acuan dari pola pikir dan perilaku manusia, serta bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk sosial. Nilai-nilai konstruksi sosial secara tidak langsung akan menjiwai eksistensi pemikiran keagamaan secara kokoh dengan bersumber pada inti ajaran agamanya. Misalnya kultur masyarakat nusantara yang menerima kepemimpinan perempuan dan bisa diterima sebagai bagian dari etika dan spirit sosial yang sudah mengakar.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran bahwa beragama dan berkebudayaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Agama berfungsi sebagai wahana pelestarian tradisi dan kultur masyarakat dan pada saat yang sama agama menjadikan budaya sebagai salah satu sumber dinamisasi dan pematangan dirinya. karena bagaimanapun setiap kultur memiliki dimensi manfaat yang bisa didayagunakan dan dikembangkan untuk memperkaya khazanah budaya lokal. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk meramu berbagai nilai-nilai itu menjadi etika sosial dan spirit bagi eksistensi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sehingga perlu dipahami bahwa peran-peran yang dimiliki perempuan merupakan dampak dari kemajuan atau perubahan kultur. Perempuan yang mampu menjalankan peran dan fungsinya pun tidak lepas dari norma-norma yang mengatur gerak dan langkahnya dalam bertindak, berpikir dan mengambil suatu keputusan.

Barangkali dari pemikiran ini maka lahir pemeranan kepribadian, pengetahuan lapangan kerja, pemetaan antara peran dan fungsi perempuan. Maka lahirlah pola pandangan tentang peran perempuan di masyarakat. Tiap-tiap penempatan peran senantiasa bersandar pada hukum realitas, kenyataan riil tentang keadaan biologis antara laki-laki dan perempuan dan pada sosialisasi peran, meskipun dalam prosesnya terdapat pihak yang menerima pembaruan dan pihak yang tidak menerima perubahan. Peran lebih identik ditekankan kepada 'tugas sosial” yang harus diemban oleh mahluk hidup didalam kelompoknya, sedangkan fungsi adalah merupakan sebuah 'tugas' yang mesti dijalankan karena tuntutan biologisnya sebagai mahluk hidup. Fungsi alamiah perempuan yang secara biologis menuntutnya menjalankan tugas 'nurturing' terhadap anak anaknya bukanlah merupakan sebuah pembenaran untuk membatasi peran sosial mereka. Dapat dikatakan bahwa semua proses itu berjalan secara alamiah, berjalan adil, seimbang dan tanpa distorsi.

Dalam perkembangannya pun, pemahaman yang reduktif tentang peran perempuan dalam lingkup publik agaknya sudah mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat keterlibatan perempuan dalam kancah publik. Hal inilah yang membuktikan adanya perubahan paradigma berfikir, bahwa posisi perempuan dengan kaum laki-laki adalah sebagai partner bukan asas inverioritas dan superioritas berlabel gender semata. Sehingga paradigma ini mampu menghentak para kaum perempuan untuk lebih optimal dalam mengaktualisasikan potensi yang mereka miliki.

Beberapa hal yang bisa dilakukan agar kesadaran kaum perempuan akan urgensi kepemimpinan dapat dimaknai dengan sempurna. Pertama, kaum perempuan harus diberikan pemahaman akan jati dirinya sebagai perempuan, bahwa keahdirannya di muka bumi bukan sekedar pemanis (bergelut pada wilayah domestik semata) namun sebagi mitra kaum laki-laki. Kedua, adanya pembangunan self confidence pada jiwa perempuan, karena saat ini masih banyak berlaku pola pikir yang mengarahkan kaum perempuan untuk lebih memilih mengelak jika diberikan sebuah jabatan dengan alasan tidak mampu, padahal kemampuanya ada, namun kepercayaan dirinya yang membuat mereka tidak mau memikul kepercayaan tersebut. Ketiga, perempuan harus memiliki bekal kelimuan yang memadai, sehingga dalam memosisikan peran wilayah publiknya, perempuan tidak keluar dari kodrat biologisnya serta jiwa keibuan yang dimilikinya. Sehingga tidak ada perempuan tidak lagi terkurung dalam bingkai fungsi kodrati sebagai alasan melemahkan potensinya.

Saat ini dapat dikatakan bahwa kemajuan peran perempuan di dalam kepemimpinan di Indonesia telah menggerakkan keinginan untuk mendapatkan jatah lebih besar di dalam kancah politik pun akhirnya terakomodasi. Seperti dapat dilihat dengan adanya kuota 30% untuk pengurus parpol dan pencalonan anggota legislatif. Gejala ini tentunya berdampak pada tuntutan. perempuan yang harus memainkan perannya dalam mewujudkan demokrasi yang tidak bias gender sekaligus sebagai bukti kedewasaan suatu bangsa. Hadirnya sosok perempuan ke kancah dimensi publik baik itu orang nomor satu di Indonesia dan di daerah-daerah membawa kecenderungan baru dalam konteks kekinian. Perempuan ingin dunia memperlakukan kaumnya secara proporsional. Kecenderungan inilah yang salah satunya berimplikasi pada terstimulusnya kaum perempuan untuk menjadi pemimpin.

Tentu sangat mudah melakukan inventarisasi ketokohan perempuan di Indonesia. Misalnya bisa dicari dari sisi profesionalitas, intelektualitas, integritas, kemampuan kepemimpinan sampai pada track record-nya di dalam mengurus organisasi atau bidang tertentu. Meskipun kendala di lapangan membuktikan bawa kepemimpinan perempuan diruang publik sampai saat ini msih masuk dalam kategori "debatable" bagi sebagian besar kalangan masyarakat. Disamping itu, dalam realitanya, ideologi, psikologi, dan minimnya sumber daya manusia perempuan kerap dijadikan senjata ampuh untuk menyerang eksistensi perempuan di ranah publik. Hal ini ddidukung dengan minimnya spirit kaum perempuan untuk berubah, untuk menjadi lebih baik, bahkan umtuk menjadi pemimpin. Padahal dalam konteks kepemimpinan, maka siapa yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai maka ia berhak menjadi pemimpin tanpa terkecuali apakah dia laki-laki maupun dia perempuan.

Perlu pula disadari bersama bahwa ketidaksiapan seorang perempuan menjadi pemimpin selama ini tidak hanya berasal dari faktor ketidakmampuannya secara pribadi, namun juga ketidakmampuan lingkungan diluar perempuan untuk mengakui bahwa perempuan adalah juga memiliki potensi menjadi pemimpin. Alih-alih memberikan pemahaman, masih saja perdebatan dan permainan kepentingan menjadi bagian yang ekstrim dalam mendorong keterpurukan kaum perempuan. Namun hal ini tentu akan mampu ditepiskan dengan pembuktian di masyarakat akan kemampuan dan kredibilitas yang dimilki.

Saat ini memang proses penyadaran peran dan fungsi perempuan masih dalam tahap awal, sehingga seolah masih terdapat proses pemberian ruang pada potensi kepemimpinan perempuan yang bersifat "by accident”dan bukan "by design”. Jadi dapat dikatakan proses yang ada bukan dimulai dari proses alamiah yang menempanya menjadi "makhluk unggul". Namun bagaimanapun melalui proses by accident ini pula sebenarnya banyak perempuan berupaya menempatkan keadaan ini sebagai peluang untuk memperoleh kesempatan melalui desakan kultural dan perkembangan zaman yang menuntun pada optimalisasi potensi yang dimilikinya.

Menggali Potensi Kepemimpinan Perempuan
Secara kualitatif saat ini peran perempuan semakin diperhitungkan dan mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin baik. Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada zaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang men-support perempuan menjadi semacam “komoditas”. Hal inilah yang menjadikan banyak pihak masih meragukan bahwa potensi wanita Indonesia benar-benar akan mampu tergali secara maksimal.

Ranah kepemimpinan dapat pula dilihat dari kepemimpinan keluarga (terlepas dari persoalan kesepakatan dan aturan hukum Islam yang menyatakan pemimpin keluarga adalah laki-laki). Yang dalam hal ini tidak dapat terlepas dari konteks pilihan individunya, artinya apabila pilihan akhir perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga yang wilayah pekerjaannya diangap berasal pada lingkup domestik, maka pekerjaan domestik yang mereka lakukan juga semestinya diperhitungkan (sebagai produktivitas ekonomi). Sehingga layak dikategorikan sebagai bagian dari perilaku kepemimpinan dalam keluarga. Dalam konteks inilah peran perempuan yang dulunya sebagai pelengkap laki-laki bergeser menjadi partner bagi sang suami.

Namun perkembangan pemikiran saat ini sudah mulai beranjak pada antusiasme masyarakat dalam meninjau kelayakan perempuan menjadi pemimpin yaitu lebih menitik beratkan pada potensi dasarnya dan realitas riilnya, jika seseorang memiliki potensi yang berhubungan dengan syarat umum tersebut, maka ia akan dipandang memiliki potensi.

Disamping itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah memiliki pengetahuan yang memadai, mampu memperlihatkan keahlian yang timbul dari pengalamannya, serta memiliki talenta yang mendukung pencapaiannya. Seorang perempuan yang ingin membuktikan bahwa ia sudah memiliki kompetensi katalisator perubahan, maka perempuan tersebut harus dapat memperlihatkan pemahaman tentang cara mengidentifikasi perubahan dan mengelola pelaksanaannya. Ia juga harus bisa memperlihatkan kemampuan yang baik dalam mengidentifikasi dukungan dan hambatan organisasi saat melakukan perubahan dan mendisain strategi perubahan.

Dalam konteks organisasi, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan kompetensi kepemimpinan perempuan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Yakni antara lain: Pertama, dengan mengidentifikasi talenta, talenta dapat dimasudkan pada talenta maximizer, strategic, communication, developer, dan achiever. Jika hal ini terpenuhi, maka potensi untuk berhasil sebagai pemimpin.

Kedua, dengan mengusahakan untuk mengetahui profil kompetensi manajerial di dalam suatu organisasi yang berkaitan dengan kompetensi keinginan berprestasi, katalisator perubahan, fleksibilitas, mengembangkan orang lain dan komunikasi. Dan yang ketiga adalah dengan mengidentifikasi tuntutan di setiap perilaku dan menjadikannya sasaran pengembangan dalam waktu tertentu.

Dalam prakteknya, diperlukan upaya memperjuangkan setiap kesempatan pengembangan diri untuk mempraktikkan kompetensi tersebut baik dalam lingkup pekerjaan sendiri maupun di luar itu seperti kepanitiaan dan kerja sosial dan kegiatan yang terkait pada pengembangan pemikiran baik berupa diskusi, seminar maupun kegiatan lainnya. Dan hal ini sangat dipengaruhii oleh fondasi kepribadian seseorang yang telah dimulai dari pola asuh dan pola didik yang diperolehnya dalam keluarga yang mampu membangun kapasitas seorang anak perempuan untuk berpartisipasi di berbagai ranah publik.

Penutup
Menutup uraian makalah ini, izinkanlah penulis kembali mengingatkan hakikat dari perbedaan yang ada di muka bumi, yaitu agar manusia saling mengenal sesamanya. Perbedaan itu hendaknya menjadi kekayaan bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang heterogen. Namun hal ini akan sangat menyedihkan jika proses pemberian keadilan yang mengatasnamakan keadilan peran dan fungsi perempuan namun hanya berhenti pada mencatat lembaran kontroversi yang tidak membuahkan hasil positif selain keegoisan pribadi yang bersifat emosional semata.

Sumber daya perempuan merupakan sumber daya manusia yang potensial dan strategis untuk dikembangkan bagi kemaslahatan ummah. Namun dalam usaha yang murni ini, harus pula dipertimbangan aspek biomedis perempuan yang merupakan anugrah yang harus diterima dan disyukuri sebagai nikmat untuk saling melengkapi. Adalah melawan ketetapan alam semesta (sunnatullah) perempuan, dan salah bila menganggap fungsi biologis perempuan sebagai kepasrahan untuk dibebankan dengan kewajiban-kewajiban domestik yang berlebihan sehingga menutup kesempatan peranan sosial. Maka jawaban bagi persoalan ini adalah keikhlasan dan kearifan dalam menyesuaikan tafsiran agama dan keperluan zaman, selama tidak melanggar tujuan syariat dan prinsip keadilan yang telah dibincangkan sehingga diperoleh titik keseimbangan yang hakiki.

Namun perlu diingat, bahwa perempuan dengan kodrat yang telah diberikan kepadanya jelas memiliki kelemahan tersendiri, seperti halnya kaum laki-laki. Secara kodrati, antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Atas pertimbangan rasional dengan memerhatikan kodratnya yang demikian, maka muncul batasan-batasan etik yang khas bagi kaum perempuan. Tentu saja kaum perempuan harus bisa menggoreskan pena sejarah hidup masing-masing dengan prestasi, teladan dan kebaikan sehingga sejarah perempuan Indonesia akan membentuk sejarah ibu bangsa yang menjadi teladan bagi anak bangsa di kemudian hari.

Dan pemahaman akan makna keadilan yang lebih komprehensif. Di dalam diri seorang perempuan, seharusnya selalu ada naluri ‘ibu’ yang bersifat mendidik, mengasuh, memberi teladan. Perempuan Indonesia seharusnya bisa menjadi ‘ibu’ bagi seluruh anak bangsa. karenanya, segala tingkah laku, prestasi atau semua yang dilakukan, seyogyanya selain untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan tentu saja untuk keteladanan bagi generasi berikutnya. Bentuk yang cukup relevan dalam rangka menjunjung harkat dan martabat perempuan adalah melalui pembuktian kapasitas diri perempuan, baik dalam kerangka penjagaan amanahnya dalam fungsi kodrati maupun peran sosial masyarakat dalam ruang publik.

Dan perlu disadari bahwa budaya yang telah mengakar telah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat dalam berpikir dan bertindak, maka sangatlah impossible untuk menghapuskan kebiasaan ini secara sekaligus, namun perubahan yang sangat mungkin dilakukan adalah dengan cara gradual (bertahap) dan berkesinambungan.
Wallahu a'lam.


Referensi

Komaruddin Hidayat, Pengantar Penerbit, Dalam Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, oleh Nasaruddin Umar, (Jakarta : Paramadina, 2001).

Data Pribadi Penulis

Nama Lengkap : Luluk Ifadah, M.S.I.

Pendidikan :
-Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Pendidikan Islam -Konsentrasi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam- (lulus tahun 2010)
-Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah-Jurusan Pendidikan Agama Islam (lulus tahun 2007)
-MA Negeri Temanggung (lulus tahun 2002)
-MTs Muallimin Parakan Temanggung (lulus tahun 1999)
-SD Negeri Gunung sari (lulus tahun 1996)

Pengalaman Penunjang:
-Delegasi Da’i Muda Kementrian Agama Kabupaten Temanggung (2008-2009)
-Penggagas (Konseptor) dan Pembina I organisasi Ekstrakurikuler PAI -Rohis (Rohani Islam)- SMP N I Bansari (2008-sekarang)
-Trainer Mat-C Training Center Yogyakarta bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia (2005-2006)
-Trainer Ulul Albab Training Center Yogyakarta (2009-2010)
-Koordinantor Bidang Pendidikan Posko Nasional Gempa Bumi HMI-MPO Yogyakarta (2006)
Pengalaman Organisasi:
-Bendahara Umum Korps Pengader Cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO) Cabang Yogyakarta (2007-2008)
-Sekretaris Departemen Penelitian dan Kekaryaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO) Cabang Yogyakarta (2005-2006)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar